Pajak Karbon: Skema “Opportunity Cost” bagi Negara Berkembang

Fransisca Fleicia Paschaline
6 min readOct 29, 2021

--

Definisi dan Tujuan Pajak Karbon

Pajak karbon merupakan salah satu mekanisme alternatif yang ditawarkan sebagai solusi dari perubahan iklim. Mekanisme ini hadir sebagai prospek akan penyelarasan beragam kebijakan ekonomi-politik suatu negara dengan komitmen masyarakat internasional untuk mengatasi perubahan iklim. Komitmen ini semakin menguat dengan adanya target yang hendak dicapai oleh negara maju dan berkembang untuk berkontribusi secara aktif dalam memajukan Perjanjian Paris. Mekanisme “Nationally Determined Contributions (NDC)” dalam Perjanjian Paris telah mendorong komunitas internasional untuk mempertimbangkan beberapa aksi nasional yang menggambarkan kontribusi setiap negara dalam mengurangi emisi karbon (Pattberg & Widerberg, 2017), salah satunya adalah melalui pengimplementasian pajak karbon. Dalam skema pajak karbon, pemerintah memberikan harga atau pajak langsung pada emisi gas rumah kaca (per ton) yang dihasilkan oleh industri dan rumah tangga oleh pemerintah (Price, 2020). Pajak ini bekerja sebagai dorongan ekonomi bagi pencemar lingkungan agar termotivasi untuk menurunkan emisi karbon dengan beralih ke proses produksi ataupun produk yang lebih ramah lingkungan (Earth.org, 2021).

Peluang Implementasi Pajak Karbon

Bagi negara berkembang, skema pajak karbon ini memiliki beberapa peluang untuk bekerja dengan maksimal dalam implementasinya. Skema pajak karbon memainkan peranan sentral dalam mereduksi karbon secara ekstensif dengan penghematan biaya untuk mencapai target iklim (ICAP dalam Price, 2020). Pajak karbon memberikan solusi bagi negara berkembang untuk dapat mengatasi ketertinggalannya dalam aspek ekonomi dan perkembangan teknologi dengan negara maju. Solusi ini terbentuk karena pajak karbon dapat langsung diterapkan dengan mengenakan pajak pada barang dan jasa yang tidak ramah lingkungan, tanpa perlu adanya biaya tambahan untuk pengimplementasiannya. Berbeda dengan skema lainnya dalam carbon pricing seperti “Cap-and-trade” yang membutuhkan peralihan teknologi untuk mengatasi perubahan iklim, pajak karbon merupakan skema sederhana yang dapat langsung diterapkan di masyarakat (Harris et al., 2017). Melalui pajak karbon, kesenjangan ekonomi dan teknologi tidak lagi menjadi hambatan bagi negara berkembang untuk berkontribusi secara aktif dalam mengatasi perubahan iklim. Tidak hanya itu, carbon pricing (termasuk di dalamnya pajak karbon) juga diakui sebagai sumber pendapatan pemerintahan yang krusial bagi negara berkembang (World Bank dalam Price, 2020). Pendapatan dari pajak karbon ini kemudian dapat digunakan untuk sebagai aliran dana untuk untuk meningkatkan akses dan keterjangkauan energi, memajukan jaring pengaman sosial, dan mendukung prioritas ekonomi dan sosial lainnya (Teusch & Theodoropoulos, 2021). Maka dari itu, peningkatan pendapatan pemerintah dari pajak karbon menjadi krusial dalam membuka peluang fiskal bagi negara-negara berkembang yang selanjutnya berpotensi untuk mengurangi ketergantungan negara berkembang terhadap bantuan dan pembiayaan utang dari negara maju (Price, 2020). Terlebih lagi dengan adanya kegagalan dari negara maju untuk mencapai komitmennya dalam memberikan bantuan keuangan iklim dalam Perjanjian Paris sebesar $100 miliar per tahun kepada negara berkembang sebelum tahun 2020 berakhir.

Beban Ekonomi dari Implementasi Pajak Karbon: Pertumbuhan Ekonomi Negara Berkembang

Namun demikian, implementasi dari skema ini masih sangat terbatas, terutama di wilayah negara berkembang. Data dari World Bank (2021) menunjukkan bahwa pajak karbon terimplementasi sebagian besar di negara maju dan hanya sebagian kecil dari negara berkembang yang telah mengimplementasikan pajak karbon. Fenomena pengimplentasian pajak karbon yang timpang ini tidak terlepas dari economic cost yang meliputinya. Pengimplementasian pajak karbon mampu menghilangkan kesempatan akan akselerasi pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi yang masif bagi negara berkembang. Skema pajak karbon dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi negara berkembang karena pajak karbon dapat langsung mempertajam kemiskinan dengan meningkatkan harga barang dan jasa pokok seperti makanan, energi, dan transportasi (Vogt-Schilb et al., 2019). Pajak karbon akan mengenakan beban yang seragam pada semua konsumen, tanpa mempertimbangkan pendapatan dan daya beli yang beragam di masyarakat (Price, 2020). Masyarakat yang berada dalam kemiskinan akan membayar jumlah yang lebih tinggi dari pendapatan mereka yang tersedia untuk pajak tersebut (Price, 2021). Pengenaan pajak yang tidak memperhatikan kesenjangan pendapatan tentu akan berimplikasi pada penurunan permintaan (demand) dalam mekanisme pasar yang mampu menghambat pertumbuhan GDP suatu negara berkembang. Penurunan permintaan ini sebagian besar muncul dari masyarakat yang kurang mampu yang merupakan mayoritas populasi dalam negara berkembang. Lalu, apabila kita telusuri lebih lanjut, sebagian besar pendapatan ekspor negara berkembang juga berasal dari bahan bakar berbasis karbon. Maka dari itu, penerapan pajak karbon di negara berkembang akan menyebabkan terjadinya perubahan pola konsumsi dan berbagai kegiatan ekonomi-sosial lainnya dalam masyarakat berkembang yang mungkin belum siap terhadap perubahan dan akhirnya berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi negara tersebut (Funke & Mattauch, 2018). Analisis tersebut sejalan dengan analisis Jiao & Sihombing (2021) yang memperkirakan bahwa inisiasi penerapan pajak karbon di Indonesia yang merupakan negara yang bergantung secara ekonomi pada batu bara akan memperlambat pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,58% pada tahun 2030.

Beban Ekonomi-Politik dari Implementasi Pajak Karbon: Stabilitas Politik dan Kebijakan Ekonomi yang Tidak Tepat di Negara Berkembang

Selain beban ekonomi yang meliputinya, skema pajak karbon juga memiliki implikasi yang mendalam terhadap kondisi stabilitas politik suatu negara. Harris et al., (2017) mengungkapkan bahwa pajak karbon dapat mendorong kehadiran oposisi politik karena adanya konotasi negatif dari kata “pajak.” Pajak karbon (khususnya dengan harga yang cukup tinggi) di tengah kesenjangan ekonomi maupun ketidakmerataan pendapatan di negara berkembang dapat menimbulkan kontroversi yang berimplikasi pada ketidakstabilan politik suatu negara. Klenert et al., (2018) mengemukakan bahwa penerimaan masyarakat akan pengesahan skema pajak karbon menjadi tantangan terbesar bagi negara berkembang. Jika pemerintahan dalam suatu negara tidak memiliki kepercayaan atau legitimasi politik dari masyarakat yang bergandengan dengan sistem politik yang korup, maka reformasi ekonomi dari kebijakan pajak karbon tidak akan terlaksana maupun terdistribusi secara adil. Menurutnya, transparansi dan akuntabilitas menjadi tantangan utama bagi pengimplementasian pajak karbon di negara berkembang.

Selanjutnya, kemungkinan adanya instabilitas politik di negara berkembang juga berdampak pada penetapan pajak karbon yang cukup rendah di negara-negara berkembang. Pegels (2018) menilai bahwa Meksiko, Cile, dan Afrika Selatan sebagai negara berkembang yang telah mengimplementasikan pajak karbon menetapkan harga yang terlalu rendah untuk bisa mencapai potensi maksimalnya. Salah satu contohnya adalah Afrika Selatan yang menerapkan pajak karbon sebesar US$8.09 per ton pada tahun 2019 (Szabo, 2021). Padahal, Bank Dunia dan IMF merekomendasikan pajak karbon yang cukup tinggi untuk negara berkembang, yaitu berkisar antara US$35 — US$100 per ton agar dapat berjalan dengan efektif (Umah, 2021).

Kesimpulan dan Refleksi

Skema pajak karbon merupakan skema yang dilematis untuk diterapkan di negara berkembang. Di satu sisi, pajak karbon yang dalam implementasinya tidak memerlukan biaya ekonomi tinggi merupakan solusi alternatif yang dapat mendorong kontribusi negara berkembang dalam rezim perubahan iklim. Namun, di sisi lain, penerapan pajak karbon tinggi (di bawah kebijakan pajak lainnya) di negara berkembang dalam waktu dekat mungkin bukan merupakan solusi yang kurang tepat karena fokus utama dari negara berkembang saat ini adalah pertumbuhan dan pembangunan ekonomi (Anandarajah et al., 2010). Sementara itu, penerapan pajak karbon yang rendah untuk menghindari instabilitas politik dan hambatan pertumbuhan ekonomi justru berdampak pada ketidakefektifan dari kebijakan pajak karbon itu sendiri. Maka dari itu, penulis berpendapat bahwa tidak ada “one size fits all solution” yang mampu diterapkan pada seluruh negara, terlebih lagi dengan melihat kondisi yang timpang antara negara maju dan berkembang. Dalam realitanya, setiap negara perlu beradaptasi dengan menerapkan strategi campuran pada kebijakan perubahan iklim yang mampu menyelaraskan perilaku ekonomi politik suatu negara dengan komitmen masyarakat internasional dalam rezim perubahan iklim (Funke & Mattauch, 2018).

REFERENSI

Anandarajah, G., Kesicki, F., & Pye, S. (2010). Carbon Tax vs. Cap-and-Trade: Implications on Developing Countries Emissions. UCL Energy Institute, University College London. https://www.semanticscholar.org/paper/Carbon-Tax-vs.-Cap-and-Trade%3A-Implications-on-Anandarajah-Kesicki/ed4c09344e616b1ce3bb6405807390f83ac09122.

Funke, F., & Mattauch, L. (2018, Agustus 10). Why is carbon pricing in some countries more successful than in others?. Our World in Data. https://ourworldindata.org/carbon-pricing-popular.

Harris, J. M., Roach, B., & Codur, A. M. (2017). The Economics of Global Climate Change. Global Development and Environment Institute, Tufts University. https://www.bu.edu/eci/files/2019/06/The_Economics_of_Global_Climate_Change.pdf.

Jiao, C., & Sihombing, G. (2021, Juli 1). Indonesia’s Proposed Carbon Tax Bill Reveals Risk to GDP Growth. Bloomberg Green. https://www.bloomberg.com/news/articles/2021-07-01/indonesia-s-proposed-carbon-tax-bill-reveals-risk-to-gdp-growth.

Klenert, D., Mattauch, L., Combet, E., Edenhofer, O., Hepburn, C., Rafaty, R., & Stern, N. (2018). Making carbon pricing work for citizens. Nature Climate Change, 8(8), 669–677. https://www.nature.com/articles/s41558-018-0201-2.

Pattberg, P., & Widerberg, O. (2017). The climate change regime. Oxford Research Encyclopedia of Climate Science. https://doi.org/10.1093/acrefore/9780190228620.013.46.

Pegels, A. (2018). Taxing Carbon in Developing Countries. Deutsches Institut für Entwicklungspolitik. https://www.die-gdi.de/uploads/media/Two-Pager_1.2018.pdf.

Price, R. A. (2020). Lessons learned from carbon pricing in developing countries. Institute of Development Studies. https://opendocs.ids.ac.uk/opendocs/handle/20.500.12413/15336.

Umah, A. (2021, June 29). Pajak Karbon RI Rp 75/kg Jauh Dari Rekomendasi bank Dunia. CNBC Indonesia. https://www.cnbcindonesia.com/news/20210629104207-4-256685/pajak-karbon-ri-rp-75-kg-jauh-dari-rekomendasi-bank-dunia.

State and Trends of Carbon Pricing 2021 (2021). The World Bank. https://openknowledge.worldbank.org/handle/10986/35620.

Szabo, M. (2021, Februari 5). South African carbon tax could be too low, too limited to cut emissions -report. Carbon Pulse. https://carbon-pulse.com/120970/.

Teusch, J., & Theodoropoulos, K. (2021, Februari 17). )Why should developing countries implement carbon pricing when even advanced economies fall woefully short?. OECD Development Matters. https://oecd-development-matters.org/2021/02/17/why-should-developing-countries-implement-carbon-pricing-when-even-advanced-economies-fall-woefully-short/.

Vogt-Schilb, A., Walsh, B., Feng, K., Di Capua, L., Liu, Y., Zuluaga, D., Robles, M., & Hubaceck, K. (2019). Cash transfers for pro-poor carbon taxes in Latin America and the Caribbean. Nature Sustainability 2, 941–948. https://doi.org/10.18235/0001930.

What countries have a carbon tax? (2021, September 10). Earth.Org. https://earth.org/what-countries-have-a-carbon-tax/.

--

--