Problematika Cap and Trade: Potensi “Carbon Leakage” dan Tantangan Implementasinya di Negara Berkembang

Fransisca Fleicia Paschaline
5 min readOct 29, 2021

--

Apa itu “Cap and Trade” dan Tujuannya?

“Cap and Trade” atau perdagangan karbon adalah salah satu solusi alternatif dari perubahan iklim yang menekankan pada peranan pemerintah dalam membatasi jumlah gas emisi rumah kaca yang dilepaskan ke atmosfer setiap tahunnya berdasarkan kredit karbon. Perdagangan karbon memungkinkan industri-industri dengan emisi rendah untuk memperdagangkan slot emisi ekstra mereka kepada industri penghasil emisi yang lebih tinggi (Price, 2020). Perdagangan karbon menciptakan skema permintaan dan penawaran dalam bentuk tunjangan emisi yang mampu menetapkan ambang batas dari hasil emisi secara agregat (Price, 2020). Skema ini dinilai positif dalam menurunkan gas emisi rumah kaca karena ambang batas dari kredit emisi dalam sistem ini akan terus menurun dari waktu ke waktu dan memberikan berbagai industri dorongan untuk beralih ke alternatif yang lebih ramah lingkungan (Kenton, 2020).

Kompetisi yang Tidak Adil dalam Perdagangan Internasional

Sumber: State and Trends of Carbon Pricing 2021 (World Bank, 2021)

Namun demikian, peta pengimplementasian skema carbon pricing berbagai negara diatas telah menunjukkan bahwa perdagangan karbon hanya terlaksana sebagian besar di negara maju. Sementara itu, di negara-negara berkembang, implementasi perdagangan karbon masih sangat minim dan hanya menjadi pertimbangan. Mengapa demikian? Pertama, sistem perdagangan karbon memiliki potensi untuk membentuk dan memajukan persaingan baru antara sektor-sektor yang dibatasi karbon dengan sektor lainnya yang tidak dibatasi karbon (Reinaud, 2009). Pengimplementasian kebijakan perdagangan karbon ke suatu negara tanpa memperhatikan adanya kebijakan yang sebanding dengan negara-negara pesaing dapat menyebabkan penurunan drastis suatu produk dengan emisi karbon tinggi yang berimplikasi pada ketidakmampuan perusahaan untuk bersaing di dunia internasional (EveryCRSReport, 2008). Negara-negara dengan kontrol karbon memiliki risiko tinggi untuk kehilangan pangsa pasar global dibandingkan negara-negara pesaing tanpa kontrol karbon. Hal ini tentunya akan mengurangi pendapatan bersih yang hendak dicapai oleh negara yang berkontribusi positif dalam menanggulangi perubahan iklim dan justru memberi penghargaan secara ekonomi kepada negara-negara yang polutan (EveryCRSReport, 2008). Prospek tinggi dari terjadinya kondisi ini tentu memprihatinkan, khususnya bagi negara berkembang yang saat ini sedang gencar membangun perekonomiannya. Banyak kritikus yang mengungkapkan bahwa sistem perdagangan karbon ini justru dapat semakin menurunkan daya saing negara berkembang di pasar internasional dan memperlambat usaha mereka menuju pertumbuhan ekonomi yang maksimal (Shende, 2014).

Potensi “Carbon Leakage”

Selanjutnya, akselerasi kompetisi dalam perdagangan internasional melalui skema perdagangan karbon juga mampu mendorong hadirnya fenomena “Carbon Leakage.” Carbon Leakage adalah kondisi ketika negara-negara dengan emisi tinggi atau dengan kebijakan perdagangan karbon yang ketat (umumnya negara maju) melakukan relokasi industri ke negara-negara dengan emisi yang rendah atau ke negara-negara yang tanpa maupun kurang ketat kontrol karbon (umumnya negara berkembang) untuk menghindari pembayaran kredit karbon yang berlebih (Reinaud, 2009; Wang, 2015). Fenomena “Carbon Leakage” yang didorong oleh kompetisi terjadi karena adanya penurunan ekspor untuk produk industri yang dibatasi karbon dan peningkatan impor untuk produk industri yang tidak dibatasi karbon. Kondisi ini dapat merombak pola investasi dan mendorong industri padat energi untuk menempatkan usahanya di negara-negara dengan kebijakan iklim yang tidak terlalu ketat (Reinaud, 2009).

Maka dari itu, para ahli berpendapat bahwa potensi dari “Carbon Leakage” ini dapat direduksi dengan cara meningkatkan partisipasi negara-negara, baik negara maju maupun berkembang, untuk mengimplementasikan sistem perdagangan karbon secara maksimal (Reinaud, 2009). Dengan demikian, daya saing antarnegara akan berkurang dan potensi fenomena “Carbon Leakage” dapat berkurang secara signifikan. Namun, apakah implementasi kebijakan perdagangan karbon merupakan hal yang mudah sekaligus tepat untuk diterapkan di negara berkembang?

Tantangan Implementasi Perdagangan Karbon di Negara Berkembang

The cap-and-trade system of emissions trading is very difficult to control and its effects are diluted…It is precisely because I am a market practitioner that I know the flaws in the system,” — George Soros, seorang investor dan filantropis.

Secara umum, kemampuan industri untuk bersaing di bawah kebijakan perdagangan karbon bergantung pada tiga faktor utama, yaitu besarnya intensitas gas rumah kaca dari produksi industri yang berpengaruh terhadap tinggi-rendahnya biaya suatu produk, kemampuan perusahaan untuk membebankan biaya yang meningkat kepada konsumen tanpa kehilangan pangsa pasar, dan kemampuan perusahaan untuk mengurangi emisi karbon secara signifikan (Reinaud, 2009). Namun demikian, tiga faktor ini merupakan faktor yang sulit untuk diterapkan pada negara berkembang yang sedang mengejar pertumbuhan ekonominya. Shende (2014) berpendapat bahwa negara berkembang umumnya memandang perdagangan karbon sebagai skema yang memungkinkan pencemar untuk terus mencemari lingkungan. Ia berpendapat bahwa perdagangan karbon hanya akan mendorong industri yang mengandalkan ekonominya pada bahan bakar fosil untuk melanjutkan perilaku polutan mereka karena para pengusaha akan lebih memilih untuk membeli kredit karbon dengan biaya yang lebih terjangkau daripada harus beralih ke industri atau teknologi bersih sepenuhnya dengan biaya yang jauh lebih besar. Skema perdagangan karbon mencapai kesuksesannya ketika industri beralih menuju teknologi bersih dalam implementasinya. Sedangkan, negara berkembang umumnya masih mengalami kesulitan dan ketertinggalan dalam hal ekonomi dan investasi teknologi bersih. Maka dari itu, para ahli memandang perdagangan karbon adalah skema yang hanya mampu dijalankan oleh negara-negara maju yang memiliki kapasitas secara ekonomi untuk membayar beban dari transaksi perdagangan karbon tersebut dan mengalihkannya ke investasi teknologi bersih (Shende, 2014). Skema perdagangan karbon ini umumnya tidak mendorong industri di negara berkembang untuk mengubah perilakunya menjadi lebih ramah lingkungan.

Kesimpulan dan Refleksi

Di negara-negara berkembang, sistem dan infrastruktur energi bersih masih dalam proses pengembangan dan penerapan. Perdagangan karbon yang membutuhkan kemapanan dalam hal ekonomi dan teknologi menjadi tidak tepat untuk diterapkan di negara berkembang (Anandarajah et al., 2010). Negara maju sebagai negara yang juga telah berkontribusi dalam isu perubahan iklim dengan mengeluarkan gas rumah kaca sejak masa industrialisasi sudah sewajarnya membantu negara-negara berkembang untuk berinvestasi dalam teknologi yang lebih bersih dengan memberikan pendanaan iklim (Anandarajah et al., 2010). Namun, kontemporer ini, jaminan bantuan pendanaan iklim dalam Perjanjian Paris sebesar $100 miliar per tahun dari negara maju kepada negara berkembang sebelum tahun 2020 berakhir saja masih belum berhasil. Maka dari itu, sistem perdagangan karbon yang tidak disertai dengan adanya insentif bagi perusahaan-perusahaan untuk beralih ke teknologi bersih menjadi sulit untuk diterapkan di negara berkembang. Sinergitas antara komitmen negara maju untuk memberikan pendanaan iklim dan negara berkembang untuk mengimplementasikannya menjadi kunci utama dari keberhasilan skema perdagangan karbon.

REFERENSI

Anandarajah, G., Kesicki, F., & Pye, S. (2010). Carbon Tax vs. Cap-and-Trade: Implications on Developing Countries Emissions. UCL Energy Institute, University College London. https://www.semanticscholar.org/paper/Carbon-Tax-vs.-Cap-and-Trade%3A-Implications-on-Anandarajah-Kesicki/ed4c09344e616b1ce3bb6405807390f83ac09122.

Cap and Trade Basics (n.d.). Center For Climate and Energy Solution. https://www.c2es.org/content/cap-and-trade-basics/.

“Carbon leakage” and trade: Issues and approaches. (2008, Desember 19). Every CRS Report. https://www.everycrsreport.com/reports/R40100.html#_Toc218932965.

Clemente, J (2015, Oktober 1). Cap-And-Trade Is Fraught With Fraud. Forbes. https://www.forbes.com/sites/judeclemente/2015/10/01/cap-and-trade-green-climate-fund-are-fraught-with-fraud/?sh=302a68014940.

Kenton, W. (2020, Desember 5). Inside cap and trade. Investopedia. https://www.investopedia.com/terms/c/cap-and-trade.asp=

Price, R. A. (2020). Lessons learned from carbon pricing in developing countries. Institute of Development Studies. https://opendocs.ids.ac.uk/opendocs/handle/20.500.12413/15336.

Reinaud, J. (2009). Trade, Competitiveness and Carbon Leakage: Challenges and Opportunities. Chatam House. https://www.chathamhouse.org/sites/default/files/public/Meetings/Meeting%20Transcripts/0109reinaud.pdf.

Shende, R. (2014, September 25). Cap and trade does little for poorer countries. New York Times. https://www.nytimes.com/roomfordebate/2014/06/01/can-the-market-stave-off-global-warming/cap-and-trade-does-little-for-poorer-countries/.

State and Trends of Carbon Pricing 2021 (2021). The World Bank. https://openknowledge.worldbank.org/handle/10986/35620.

Wang, T. (2015). Essays on International Trade and Climate Change. Princeton University. https://dataspace.princeton.edu/handle/88435/dsp01rf55zb017.

--

--